Mau dibawa ke mana hubungan kita dengan alam?
Throwback sedikit ke bulan Januari lalu. “Kita harus mengambil langkah luar biasa,” ujar Presiden Joko Widodo tentang upaya mengurangi dampak perubahan iklim dalam sambutannya untuk Climate Adaptation Summit 2021.
Tak sampai dua bulan berselang, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. PP turunan Omnibus Law UU Cipta Kerja itu menghapuskan Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) atau limbah abu batu bara dari kategori bahan berbahaya dan beracun (B3).
Pengecualian FABA sebagai limbah B3 merupakan sebuah langkah mundur dalam upaya mengurangi kerusakan lingkungan di Indonesia. Data KLHK tahun 2020 menyebutkan bahwa total produksi FABA mencapai 2,9 juta ton. Angka ini akan bertambah di tahun-tahun mendatang karena produksi batu bara ditargetkan terus meningkat.
Angka yang sangat besar mengingat dampaknya bagi kesehatan masyarakat, potensi pembuangan limbah yang tidak diatur dengan baik, dan dihilangkannya tanggung jawab lingkungan dari para pelaku sektor ekstraktif.
“Keberpihakan pada sektor ekstraktif merusak lingkungan dan mempengaruhi kesehatan masyarakat, juga membuat perekonomian Indonesia tidak berkelanjutan dan tidak inklusif. Kondisi tersebut hanya menguntungkan segelintir elite ekonomi-politik yang akhirnya membentuk oligarki,” jelas Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, dalam diskusi dan rilis laporan bertajuk “Keluar dari Ekonomi Ekstraktif, Menuju Hijau dan Inklusif.”
Luar biasa, bukan?
Kalau kamu lelah dengan inkonsistensi pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan lingkungan, perasaanmu valid! Tapi, ini bukan waktu yang tepat untuk berhenti menagih janji pemerintah mewujudkan langkah nyata pengurangan dampak perubahan iklim.
Hari ini, 19 Maret 2021, masyarakat peduli lingkungan di seluruh dunia menyerukan #NoMoreEmptyPromises atau #TolakJanjiPalsu dalam rangka Global Climate Strike 2021. Kita bisa sama-sama menolak janji palsu dari pemerintah tentang lingkungan dengan mendesak pemerintah untuk segera mengakhiri penggunaan energi kotor, membuat kebijakan nyata untuk mencapai target penurunan emisi, dan sesegera mungkin menekan tombol darurat iklim.
Kalau masih bingung kenapa darurat iklim harus segera mendapat perhatian, kamu perlu menonton video ini. Greenpeace Indonesia berkolaborasi dengan Watchdoc akan merilis film dokumenter berjudul “Tenggelam Dalam Diam” yang menyoroti kondisi banjir rob dan kenaikan permukaan air laut di sejumlah pesisir pantai Pulau Jawa akibat krisis iklim.
Mengutip The Jakarta Post, warga Demak -salah satu lokasi banjir rob- sudah mulai merasakan naiknya air laut sejak 1997 dan Demak sudah kehilangan lahan seluas 371 ha dalam 15 tahun terakhir. Jika tidak mendapatkan perhatian serius sesegera mungkin, lokasi tersebut akan menghilang dalam beberapa tahun ke depan.
Buat yang penasaran, kamu bisa mengisi formulir ini untuk jadi yang pertama nonton filmnya. Ditunggu partisipasinya ya!
Yang juga harus kamu tahu...
Lebih dari 10,3 juta orang harus kehilangan tempat tinggal mereka karena krisis iklim, berdasarkan data terbaru dari The International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC). Banjir dan kekeringan menjadi alasan utama dan 60% dari korban kejadian ini adalah mereka yang tinggal di Asia.
Apakah krisis iklim jadi satu-satunya alasan? IFRC merilis angka berbeda untuk faktor lain penyebab kehilangan tempat tinggal. Perwakilan IFRC dalam wawancara dengan Reuters menyebutkan bahwa masalah iklim memperparah kondisi yang sudah ada seperti kelaparan dan konflik politik.
- Greenpeace Indonesia bersama Koalisi Save Spermonde merilis laporan “Oligarki Proyek Strategis Nasional dan Kerusakan Laut Spermonde”. Koalisi menemukan fakta di lapangan bahwa masyarakat nelayan Kodingareng dirugikan atas proyek reklamasi pelabuhan Makassar New Port (MNP).Apa yang terjadi di sana? Hasil penelusuran Koalisi Save Spermonde mengidentifikasi kerusakan yang ditimbulkan oleh tambang pasir PT Boskalis berdampak langsung pada hasil tangkapan nelayan Kodingareng yang menurun drastis. Munculnya penambangan pada Februari-Desember 2020 menyebabkan terjadinya abrasi di daerah pantai nelayan, kerusakan ekosistem terumbu karang, dan penurunan populasi ikan di wilayah tersebut.Apa yang bisa kita lakukan? Kita bisa mendesak pemerintah dan PT Pelindo IV untuk menghentikan aktivitas penambahan pasir secara permanen di wilayah tangkap nelayan. Juga mendesak mereka bertanggung jawab atas segala kerugian yang ditimbulkan. Tanda tangan petisi bersama kami di sini.
Kita sebagai individu memiliki kewajiban untuk membawa hubungan kita dengan alam ke arah yang lebih baik. Tidak ada waktu yang lebih baik daripada sekarang.
Salam Adil dan Lestari
Post a Comment